Open top menu
Rabu, 19 Oktober 2011

Potensi di Papua hanya (dapat) dibatasi oleh imajinasi—James Moffet pemilik Freeport. 11 Oktober 2011, tak kurang 200-an orang melakukan aksi solidaritas terhadap pemogokan buruh PT.Freeport Indonesia (PT. FI): memprotes intimidasi perusahaan terhadap serikat pekerja PT. FI dan menuntut Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri), Timur Pradopo, Kapolda Papua dan Kapolres Timika, bertanggung jawab atas penembakan dan represi terhadap aksi buruh-buruh PT. FI dan masyarakat adat sekitar penambangan Freeport, pada tanggal 10 Oktober 2011. Aksi didukung oleh sekitar 25 organisasi serikat buruh, mahasiswa, LSM, pemuda dan kaum miskin, di Jakarta. Pada pemogokan tertanggal 10 Oktober tersebut, Petrus Ayamseba tewas, dan 8 buruh lainnya menderita luka-luka akibat serangan polisi di terminal Gorong-gorong, Timika, Papua. Dan hingga tulisan ini selesai, aksi tidak berhenti, bahkan jenazah Petrus, menurut aktivis HAM dan anti korupsi Papua, Dorus Wakum, belum akan dimakamkan hingga PT. FI bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Di Jakarta, aksi solidaritas kembali digalang pada 13 Oktober 2011, oleh beberapa serikat pekerja arus besar, seperti Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPMI) dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Aksi solidaritas juga digalang di Jayapura, Mojokerto, Jawa Timur, dan Yogyakarta, oleh beberapa elemen-elemen serikat buruh dan pergerakan rakyat. Keputusan untuk meneruskan mogok oleh buruh-buruh PT. FI, dan solidaritas dari masyarakat adat 7 suku di sekitar Freeport, adalah tindakan luar biasa. Ditengah berbagai intimidasi dan ancaman pembunuhan terhadap para pimpinan pemogokan, ancaman terhadap serikat pekerja PT. FI, ancaman terhadap keluarga para buruh yang terlibat mogok, hingga peluru tajam yang tak sungkan-sungkan diarahkan aparat pada para pemogok, perjuangan ini adalah perjuangan hidup dan mati. Memiskinkan rakyat, merusak alam Sudah satu bulan 8000-an buruh-buruh PT. FI, dari keseluruhan 23.000 orang, melakukan mogok kerja hingga tuntutan normatif mereka dipenuhi perusahaan. Kebebasan berserikat, perbaikan kondisi kerja, penghapusan diskriminasi hak dan fasilitas antara pekerja asli Papua dan asing, serta kenaikan upah, adalah hak-hak normatif yang sedang diperjuangkan hidup mati saat ini. Kenaikan upah dari $AS1.5 per jam menjadi $AS12 per jam adalah tuntutan yang tak seberapa, di tengah fakta bahwa buruh-buruh PT. Freeport Indonesia mendapatkan upah terendah dari seluruh buruh-buruh Freeport di dunia yang berupah antara A$S30-50/jamnya. Padahal, PT. FI adalah perusahaan emas terbesar dan terpenting di dunia, serta penyumbang keuntungan paling besar bagi induk perusahaan Freeport McMoran, serta pembayar pajak terbesar milyaran dollar pertahun bagi pemerintah Indonesia. Pemogokan terus direncanakan berlangsung hingga 15 November 2011 mendatang. Dalam orasinya pada aksi solidaritas 11 Oktober 2011, Budi Wardoyo, juru bicara Partai Pembebasan Rakyat, mengatakan bahwa kenaikan upah tersebut, sudah diturunkan lebih setengah dari tuntutan awal sebesar maksimum $43 dan minimum $17.5 perjam. Namun perusahaan hanya menawarkan kenaikan sebesar 25% dari upah awal, yang tentu saja ditolak oleh para buruh. Penolakan ini tidak main-main, karena hasil kerja 23.000 buruh PT. FI adalah penyumbang 95% dari keseluruhan produksi emas Freeport McMoran, termasuk prosentase yang signifikan terhadap produksi tembaga. Menurut NASDAQ, Freeport telah memanen keuntungan luar biasa besar dari murahnya upah buruh di penambangan Papua Barat, membuat marjin keuntungan perusahaan mencapai 60 persen di tahun lalu. Belum lagi jika profit ditambahkan dari peningkatan harga emas belakangan ini (New Mathilda). Tambang Grasberg Freeport di Papua Barat memiliki cadangan emas satu-satunya yang terbesar di dunia, dan cadangan tembaga terbesar yang pernah ditemukan (Al Jazeera). Namun, sejak dihadiahkan izin operasi oleh diktator Soeharto dari tahun 1967, dengan pembaharuan kontrak di tahun 1991 hingga 30 tahun ke depan dan dua kali 10 tahun kemungkinan perpanjangan kembali, emas dan tembaga Freeport tidak ada hubungannya dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Papua. Papua tetap propinsi termiskin di Indonesia, dengan tingkat resiko penyakit dan kematian tertinggi, dan kekerasan oleh tentara yang terbanyak di seluruh wilayah Indonesia. Freeport menyatakan telah menderita kerugian akibat berkurangnya produksi selama pemogokan minggu pertama sebesar 230.000 ton perhari, atau bernilai $AS6,7 juta, yang katanya, seharusnya, masuk menjadi pendapatan pemerintah. Tentu saja maksudnya adalah kerugian bagi para pejabat di Jakarta dan para pemegang saham Freeport, karena pendapatan yang disebutkan itu tidak pernah benar-benar turun berwujud peningkatan kesejahteraan bagi buruh-buruh PT. FI dan rakyat Papua. Sekalipun disebutkan bahwa masyarakat adat yang tinggal di sekitar areal tambang Grasberg seharusnya menerima 1 persen dari keuntungan ekstraksi tambang, namun para pemimpin masyarakat setempat menyatakan ‘dana 1%’ tersebut, yang dialirkan dari Jakarta, tidak pernah sampai ke masyarakat, dan justru menciptakan konflik dan kompetisi antar suku di sekitar. Grasberg yang merusak sungai sekitar Setiap hari operasi penambangan membuang 230.000 ton limbah batu ke sungai Aghawagon dan sungai-sungai disekitarnya. Pengeringan batuan asam—atau pembuangan air yang mengandung asam—sebanyak 360.000 – 510.000 ton per hari telah merusak dua lembah yang meliputi 4 mil (6,5Km) hingga kedalaman 300 meter. Cadangan Grasberg sebegitu besarnya hingga eksplorasinya akan menghasilkan 6 milyar ton limbah industri, dan kegiatan ini akan terus berlanjut hingga tak ada lagi nilai tukar yang bisa mereka hasilkan (Al Jazeera). Ini soal penjajahan rakyat dan buminya Bagi rakyat Papua secara keseluruhan, perjuangan menuntut apapun yang menjadi hak rakyat di Papua, telah lama menjadi perjuangan hidup-mati. Apapun yang dianggap mengganggu stabilitas bagi pengerukan kekayaan alam di Papua, maka dianggap ancaman bagi NKRI, dan oleh karena itu, tak kan ragu-ragu direpresi, dibunuh, dipenjara, diculik dan dihilangkan secara paksa. Nama-nama seperti Aristoteles Masoka, Theys Hiyo Eluay, Opinus Tabuni, dan Filep Karma adalah mereka yang tewas memasang badan atau dipenjara demi perubahan di Papua. Bahkan, pada dasarnya, perjuangan rakyat Papua melawan Freeport selalu berkaitan dengan kekuasaan ‘neokolonial’ pemerintah Indonesia, yang, menurut Amnesty Internasional, telah menyebabkan kematian lebih dari 100.000 orang (New Mathilda). Persetujuan 1.022 rakyat Papua—tak sampai 1 persen—dalam ancaman senjata tentara, pada penentuan jajak pendapat untuk bergabung ke Indonesia di tahun 1967, setelah Soeharto lebih dulu menandatangani kontrak karya puluhan tahun dengan Freeport atas Gasberg, adalah jejak sejarah pendudukan paksa pemerintah Indonesia atas tanah Papua. Upaya ini dilanjutkan dengan kontrol ketat pemerintah, lewat tangan tentara Indonesia, melalui berbagai macam operasi militer dan keamanan. Kasus Teminabuan (1966-1967), peristiwa Kebar 26 Juli 1965, Peristiwa Manokwari 28 Juli 1965 dan Operasi Militer 1965 - 1969. Kemudian peristiwa penghilangan paksa di sentani 1970, Operasi Militer di Paniai sepanjang 1969 - 1980, Operasi Militer di Jaya Wijaya dan Wamena Barat kurun 1970 – 1985 (Kontras), operasi Tumpas di tahu 1977 sebagai salah satu operasi besar yang telah membunuh lebih dari 1000 rakyat sipil oleh tentara Indonesia (Al Jazeera) dan seterusnya. Menurut Centre for Peace and Conflict Studies di Universitas Sydney Australia, apa yang terjadi di Papua Barat adalah “genosida secara perlahan”. Berbagai penembakan brutal aparat yang terjadi, dari bulan Juli hingga Agustus 2011 saja mencapai 8 kali yang tercatat KONTRAS. Belum lagi berbagai tragedy berdarah yang tak pernah jelas penyelesaiannya: Wasior dan Wamena, kasus Abepura (penyerangan terhadap asrama mahasiswa oleh Brimob), penyiksaan di Puncak Jaya, adalah sebagian kecil diantaranya.Dan hadiah dari semua tragedi tersebut justru penambahan komando teritorial tentara di Papua, dan pasukan organik serta non organik di kawasan-kawasan utama sumber keuntungan para pemodal. Pemekaran Papua melalui otonomi khusus adalah cara pemecahbelahan berikutnya antar penduduk Papua. Oleh karena itu, bila kita bertanggung jawab terhadap sejarah, maka penembakan terhadap Petrus Ayamseba dan pola-pola kekerasan aparat yang terus berlanjut di Papua, adalah bagian dari penindasan dan penjajahan pemerintah Indonesia dan kapitalis internasional terhadap rakyat Papua. Tidak lah masuk akal, bumi Papua yang kekayaan tanah dan lautnya begitu hebat, hanya memberi kemiskinan, penyakit dan keterbelakangan bagi mayoritas penduduk asli Papua. Hanya dalam situasi penjajahan lah kondisi ini masuk akal terjadi. Kita, rakyat Indonesia juga mengalami hal serupa dengan rakyat Papua: sama-sama dijajah oleh para pemodal dan korporasi internasional serta kakitangannya di dalam negeri; sama-sama menjadi kuli di negeri sendiri. Namun, berbeda dengan rakyat Indonesia di propinsi lain, rakyat Papua adalah yang termiskin, yang bila menuntut apa yang menjadi haknya dicap sebagai separatis dan sewenang-wenang dibunuh oleh tentara Indonesia. Rakyat Papua memiliki paling sedikit tenaga dokter, paling sedikit sekolah, paling sedikit pemberitaan di media, paling sedikit tenaga kaum muda yang berpendidikan tinggi, paling sedikit mendapat kesempatan di tanah Indonesia. Bahkan mahasiswa-mahasiswa Papua di tanah Jawa pun paling sulit mendapatkan tempat tinggal layak, tidak dengan leluasa bergerak sekehendak hatinya, mendapat lebih banyak sorotan mata dari masyarakat sekitarnya dan juga tentara. Dan seterusnya dan seterusnya. Mengapa rakyat Papua dibedakan di negerinya sendiri? Bukankah itu wujud penjajahan? diambil disini
Tagged
Different Themes
Lapak Institute

Mari Mewakafkan Kreatifitas dan keceriaan bersama sama di CFD Mamuju.